Bapaku Mata-Mata Musuh
Friends, ini cerpen merupakan cerpen terjemahan saya yang pertama. Aslinya ditulis dalam bahasa sunda, dan saya terjemahkan bebas ke dalam bahasa indonesia. Penulisnya aslinya tokoh sunda R.A.F alias Rahmatullah Ading Affandi. Cerpen yang sangat menarik dan menyentuh, selamat menikmati
Bapakku Mata-Mata Musuh
Oleh : R.A.F
“SUR, Bapak di mana? Sur, Bapak di mana?” Anak-anak kecil mengolok-olok si Mansur, orang yang hilang ingatan.
“Hey Sur, mana Bapakmu ?”
“Bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh!” Si Mansur menjawab berulang-ulang sambil memukul-mukulkan tongkat yang dibawanya. Serta merta anak-anak menghambur berlarian sambil tertawa-tawa. Ketika sudah jauh, anak-anak itu bertanya lagi, mengolok-ngolok lagi.
“Sur, Bapakmu mana ?”
Mansur menjawab lagi, memukul-mukulkan tongkat lagi, anak-anak berhamburan lagi, lari lagi, mengolok-olok lagi. Begitu terus, begitu terus. Semakin jauh, semakin jauh. Suara tertawa anak-anak semakin nggak jelas. Hanya terdengar sayup-sayup terbawa angin. Yang masih agak jelas, suara keras si Mansur : “Bapakku mata-mata musuh !, Bapakku mata-mata musuh !” Kasihan…
Anak-anak kecil itu tidak ada yang tahu apa arti kata-kata si Mansur. Anak-anak itu hanya senang bersorak-sorai, serasa ada permainan baru. Senang kalau si Mansur menjawab, mengejar sambil memukul-mukulkan tongkat.
Oleh olok-olok lain si Mansur tidak pernah merasa terganggu. Tapi kalau ditanya perihal bapaknya, sedang apapun juga, dia akan mengejar, memukul-mukulkan tongkat sambil berteriak : “Bapakku mata-mata musuh!”
Sesungguhnya hampir semua orang di kampungku sudah tahu cerita tentang si Mansur. Semua tahu bahwa kurang warasnya si Mansur bukan bawaan semenjak lahir. Bukan gila dari kanak-kanak. Kalau saya melihat dia sedang ‘jadi’, saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil baca istigfar, atau ber ck…ck…ck…sambil menggerendeng : “Kasihan sekali, kasihan sekali….” Atau paling tidak memarahi anak-anak nakal itu, “Anak-anak! jangan digangguin !!”
* * *
Namanya Mansur. Dia sendiri tidak tahu kenapa nama dia Mansur. Anggapannya nama itu sangat jelek. Waktu kecil dia pernah mengusulkan ke bapaknya supaya namanya diganti menjadi Iskandar.
“Supaya agak enak kedengarannya,” begitu katanya.
Mendengar usul seperti itu bapaknya hanya tersenyum simpul.
“Orangtuaku nggak tau nama yang bagus,” kata si Mansur kepada temannya.
Apa sebabnya dia menganggap namanya jelek, tidak ada yang tahu. Bahkan dia sendiripun tidak akan bisa menjawab kalo ada yang bertanya; jelek bagian mananya ? Yang jelas dia merasa namanya tidak sesuai dengan nama orang kebanyakan. Berbeda dengan bapaknya, dia tahu sekali sebab musabab anak tunggalnya itu dikasih nama Mansur.
Katanya : “ Ngasih nama anak itu bukan pekerjaan main-main. Nggak bisa dipikir sambil nguap. Harus dihitung dulu. Nggak bisa sembarangan.”
“Jangankan untuk ngasih nama manusia, ngasih nama kambingpun nggak bisa seenaknya. Harus dihitung weton-nya, harus dihitung untung ruginya.”
“Sebetulnya saya ngasih nama ke anak saya begini,” bapaknya meneruskan ceritanya. “Awalnya dihitung dulu sejarah anaknya, dari mulai lahir ke dunia sampai besar, sampai dewasa. Mansur itu kata dari bahasa arab. Kita ini orang islam. Jadi sudah seharusnya kalau nyari nama ngambil dari bahasa arab. Itu termasuk sebagian dari Iman, mahabah ke Nabi. Karena Nabi kita semua lahirnya di Arab.”
Panjang cerita tentang ini. Dia sampai sempat-sempatnya membaca salah satu ayat dari surat Yusuf. Susah ngikutinnya. Yang saya inget hanya ketika dia menerangkan ilmu sharaf-nya. Katanya : “ Mansur itu isim maf’ul, dari fi’il nasoro, artinya menolong. Begini nih : nasoro-yansuru-nasron-fahuwa nasirun-wadza-ka mansurun. Nah ketemu juga, jadi Mansur itu isim maf’ul artinya yang ditolong. Karena menurut sejarahnya si Mansur hidup karena banyak pertolongan.”
“Dari sejak dikandung begitunya. Ibunya sedang ngidam, dia bener-bener kepengen makan sayur rebung, nggak bisa diganti sama yang lain. Pernah nyari kesana-kemari, tapi nggak tau kenapa yang diinginkan ibunya itu nggak pernah saya temukan. Kebetulan, di atas kereta saya ketemu dengan orang yang bawa rebung dalam keranjang. Malu-malu juga akhirnya memberanikan diri, ibaratnya sambil nangis-nangis minta nuker rebung yang dibawanya. Sepertinya dia kasihan sama saya, terus dia ngasih. Katanya : nggak usah dibayar, ini hanya menolong, nggak ada niatan untuk jual beli.”
“Baru tujuh bulan lewat sedikit, anak itu lahir. Susah sekali, kelahiran pertama, susah pula lahirnya. Celakanya, sebelum jabang bayi lahir, ibunya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Segitu juga alhamdulillah, karena meninggal ketika melahirkan dengan ridlo. Itu jadi keuntungan, tergolong orang yang syahid. Orang yang mati syahid itu terbebas dari siksa kubur. Di akhirat masuk sorga, nggak ke tempat lain.”
“Bagusnya tertolong oleh dokter yang kebetulan sedang bertugas di desa. Bayi lahir dengan selamat. Hidup, meskipun sangat mengkhawatirkan. Kalau menurut peribahasa, cuma sebesar tangan. Alhamdulillah! Disusui oleh bibinya. Bayi tumbuh tanpa banyak diganggu penyakit. Nah, karena itulah, karena hidupnya banyak dari pertolongan orang, sepertinya nama Mansur nama yang paling pas buat dia, dengan harapan untuk seterusnya dia dapat pertolongan dari Yang Maha Suci,” demikian cerita bapaknya.
***
Penampilannya tidak ada yang aneh, biasa saja seperti orang kebanyakan. Kulitnya agak hitam, hidungnya agak pesek, matanya jernih, menandakan otaknya lumayan berisi.
Ada sifat yang sangat baik dari diri si Mansur itu. Dia punya keteguhan hati yang sangat kuat. Kalau punya pendapat, susah digoyahkan oleh orang lain. Si Mansur jarang sekali menjilat ludah, tidak mudah merubah omongannya. Selalu tepat janji. Omongannya bisa dipercaya. Kalau kata dia hitam, susah untuk merubahnya jadi putih atau abu-abu.
Itu sebabnya dari semenjak kecil dia dipercaya orang lain. Sifat-sifat lainnya tidak ada yang aneh, sama saja dengan orang kebanyakan. Dan memang, si Mansur itu bukan orang istimewa, sama saja dengan orang-orang lain.
Disiplin ala Seinenden jaman Jepang semakin menguatkan watak si Mansur. Di tambah oleh jiwa militer, si Mansur semakin berani dan tau akan kewajiban dirinya.
Tidak ada satu perkara jelek yang sama sekali tidak ada baiknya, juga tidak ada satu perkara baik yang tidak ada jeleknya sama sekali. Pun dengan jaman Jepang. Yang menyengsarakan dan menyusahkan, tapi tidak sedikit juga memberikan modal untuk perjuangan kemerdekaan. Jaman Jepang melahirkan manusia militer yang penuh keberanian, yang tahu akan arti berjuang. Seperti si Mansur contohnya.
Waktu mulai revolusi, dia benar-benar menjadi pelopor, berani maju ke depan membela kebenaran. Bukti-bukti dari pertempuran kecil melawan Jepang, jelas-jelas menunjukkan kalo si Mansur orang yang berani dan tegas. Sesuai dengan sifatnya : keteguhan hatinya sulit dirubah-rubah.
***
Revolusi artinya bukan kekacauan atau keributan. Keributan dan kekacauan hanya merupakan hal-hal yang biasa terjadi dalam revolusi. Hampir tidak ada revolusi tanpa kekacauan dan keributan.
Juga yang di alami oleh kita. Sampai akhirnya korban yang timbul dari revolusi biasa disebut korban revolusi. Kadang suka membingungkan, susah membedakannya, yang mana korban perjuangan dalam membela kemerdakaan dan yang mana korban kekacauan waktu revolusi.
***
Waktu itu tengah malam. Gelap gulita, hujan turun semenjak siang, tidak sekejappun berhenti. Di rumah dekat Kaum, para pemuda sedang berkumpul, mendiskusikan masalah perjuangan.
“Saudara-saudara, kita memegang tanggung jawab yang sangat besar,” Burhan yang menjadi pemimpin memulai pembicaraan.
“Perjuangan ada di tangan pemuda. Kita harus berani bertindak. Saat ini secara langsung kita tidak berhadapan dengan musuh yang mau menjajah. Tetapi sesungguhnya kutu-kutu alat penjajah sudah banyak berkeliaran disekitar kita. Banyak orang yang mencoba menghalangi perjuangan kita.”
“Kutu-kutu itu harus kita bereskan!” seorang pemuda menimpali.
“Aku sudah dapat daftarnya, siapa-siapa yang menghalangi perjuangan,” ucap Burhan lagi.
“Kalo begitu, apa susahnya?” kata Mansur.
“Susahnya banyak,” Burhan menimpali lagi. “Kita banyak terikat dengan pertemanan dan tali persaudaraan, banyak yang terkait dengan orang tua dan kerabat.”
“Dalam perjuangan tidak ada orang tua, tidak ada saudara. Kalau memang menghalangi perjuangan, harus dimusnahkan. Kita cinta kepada tanah air, lebih dari cinta kita kepada diri sendiri. Kita sanggup mempertaruhkan nyawa untuk perjuangan.” kata Mansur lagi.
“Sebutkan satu persatu, siapa yang harus dibereskan itu ?” ucap salah seorang pemuda.
“Aku tidak yakin berguna atau tidak, kalau kusebutkan sekarang, sebab belum ketahuan apakah kalian percaya atau tidak, dan apakah kira-kira kalian berani mengerjakannya ?”
“Ini jaman revolusi. Dalam segala tindakan jangan seperti ayam betina. Penakut, nggak punya keberanian. Kita harus tegas, berani atau tidak ?” kata yang lainnya.
“Kalau begitu akan aku sebutkan.”
“Satu! Sumarta tukang kayu!”
“Setuju!” Kata yang lain. “Memang dia suka menghina perjuangan. Bahkan dia tidak mau membeli photo Bung Karno.”
“Kedua!, Lurah Amin. Ketiga!, Haji Kartobi…”
Mendengar nama itu semua diam. Tak ada yang bicara.
“…Bapakku?” kata Mansur.
“Iya, bapakmu!,” jawab Burhan dengan tegas. “Bukti-buktinya sudah ditemukan. Di dalam lencananya ada kain biru. Waktu di geledah, diperutnya ada cap NICA.”
Tidak ada yang berbicara. Semua diam.
“Kalian jangan ingkar dari sumpah,” kata Burhan mulai bicara lagi. “Kalian sudah bersumpah demi nusa dan bangsa, lebih cinta pada perjuangan dibandingkan cinta ke diri sendiri, ke orang tua, atau ke saudara. Dalam perjuangan tidak ada sanak, tidak ada keluarga, kalau ternyata menghalangi jalannya perjuangan, harus dibereskan! Sudah terbukti, Haji Kartobi mata-mata musuh.”
“Kalau memang begitu, harus dibereskan!” kata yang di pojok.
“Saya sanggup membereskannya!” kata yang di pintu.
“Jadi…, malam ini, Sumarta, Lurah Amin, dan Haji Kartobi harus dibereskan !”
“Setujuuu…!!” kata yang lain, serempak.
“Aku minta…” kata Mansur pelan.
“Apa yang mau diminta?” kata Burhan. “Asal jangan ingkar dari azas perjuangan.”
“Aku cinta pada perjuangan, serta cinta ke bapakku sendiri. Permintaanku, jangan ada yang berani membunuh bapakku. Kalau ada, pasti akan terjadi keributan di antara kita. Tentu aku akan balas dendam.”
“Maksudmu ?” Kata Burhan. “Kenapa mata-mata musuh harus dibiarkan hidup ? Hanya karena itu bapakmu ?”
“Jangan kasar begitu…” Kata Mansur. “Maksudku, aku sendiri yang akan menghabisinya, sebab dengan begitu tidak akan ada balas dendam. Tapi ada permintaan, mana buktinya!”
“Jangan terlalu banyak urusan. Ini bukan jaman aman. Kita nggak bisa berlama-lama. Bukti sudah cukup. Haji Kartobi mata-mata musuh ! Kalau kalian tidak berani, aku yang akan membereskannya! Kalau saudara Mansur mau balas dendam, silahkan saja, aku siap. Aku cinta pada perjuangan. Untuk itu, aku rela mengorbankan teman. Tapi aku juga percaya, Bung Mansur bukan agen NICA!”
“Diam!” teriak Mansur. Tubuhnya bergetar karena emosi. “Aku yang akan membereskan. Kalian yang menangkap. Aku tunggu di pinggir sungai!”
“Setuju ! Setuju !”
Para pemuda itu bubar.
***
Hujan semakin lebat. Keadaan makin gelap.
Suara Haji Kartobi terdengar khusyu membaca Yasin. Suaranya naik turun, seperti diiringi oleh suara air mengalir di atap rumah. Khusyu, sangat khusyu.
Kata-katanya –kata-kata arab yang tidak dimengerti- seperti meresap ke dalam tulang. Sangat meresap, sepertinya tidak akan semeresap itu kalau bahasanya bahasa kita sehari-hari. “…Kola ya waelana mambaatsana, mim markhodina-hadza ma waadar-rohmanu wasodakol-mursalun…”
Sangat terasa dan terbayangkan, ayat itu berarti : “Orang-orang bangun dari kubur, melirik ke kiri melirik ke kanan di alam akhir, sambil berkata : Siapa yang membangunkan Kami ? Ini yang dijanjikan oleh yang Maha Pemurah, sungguh benar para rasul.”
Meresap sekali. Waktu sampai pada sakat, diam sebentar sambil menarik nafas, hati bergetar, bergidik, bulu roma berdiri…
Ngajinya hampir selesai, yang menunggu di luar sudah tidak sabar.
Waktu selesai. “Dor! Dor! “ pintu digedor.
“Siapa itu ?” kata Haji Kartobi.
“Saya! Buka pintu!” kata yang di luar.
Tidak lama, pintu dibuka.
Duk! Pemukul mengenai kepala. Bruk! Haji Kartobi rubuh seketika, tidak sadarkan diri. Ingat-ingat sudah di pinggir sungai, karena terasa dinginnya angin yang bertiup, dan terdengar suara air mengalir. Sudah tidak berdaya . Diikat. Matanya ditutup.
“Mau diapakan aku ini?” dia bertanya.
“Jangan banyak cakap! Mata-mata musuh harus dihabisi!”
“A…Aku mau… dibunuh?” tanyanya putus-putus.
“Benar! Untuk kepentingan perjuangan.”
Haji Kartobi tidak menjawab.
“Mang Haji,” kata salah seorang. “Kalau Mamang mau berdo’a, silahkan sekarang saja. Mamang nggak bakalan lama lagi mendengar suara air mengalir, merasakan semilirnya angin.”
“Ternyata kamu, Run?” kata Haji Kartobi, hapal pada suara Harun, teman Mansur.
“Iya Mang, bukan tega, tapi keadaan yang memaksa.”
“Pingin ketemu dengan si Mansur, Run!” Haji Kartobi bicara lagi.
“Dia nggak ada di sini Mang!” jawab Harun.
Kemudian Haji Kartobi ngobrol dengan Harun, sambil menunggu dua korban lainnya datang.
“Ayo, Mang Haji, bersiap-siap,” kata Harun.
“Ya, ini memang sudah nasib Mamang. Harus mati tanapa sebab. Sudah ada ketentuannya. Cuma tolong sampaikan do’a Mamang buat si Mansur.”
“Tunduk!” teriak yang memberi komando. Haji Kartobi menunduk.
“Seperti mendengar suara anakku, si Mansur!” Dia bicara dulu.
Tidak sempat ada yang menjawab. Si Mansur bersiap-siap, pasang kuda-kuda…
Inna Lillahi wa inna ilaihi rodji’un… Mati dihukum tanpa ketahuan salahnya…
***
Perjuangan semakin lama semakin panas. Korban semakin banyak. Pemuda dari kampungku semakin berkurang, diminta oleh perjuangan. Si Burhan sudah lama meninggal, di gorok oleh temannya sendiri karena terlalu serakah.
Si Mansur masih tetap berjuang, tidak pernah berpisah dengan si Harun. Si Harun benar-benar setia pada amanat Haji Kartobi sebelum meninggal. “Jang , nitip anak Mamang !”
Suatu hari, dalam sebuah pertempuran yang sangat seru, tidak ketahuan dari mana datangnya, peluru mendesing mencari korban. Kena di dada si Harun. Mansur memburu. Sahabatnya di peluk.
“A…Aku ..ma…mau… ce..ri…ta… dulu…,” kata si Harun putus-putus.
Mansur tidak menjawab. Tangannya digunakan untuk menutupi dada si Harun yang penuh oleh darah.
“Kamu harus tobat, Sur!”
“Maksud kamu?” Tanya si Mansur.
“Sebenarnya bapak kamu meninggal tanpa kesalahan. Dulu aku nggak berani cerita, si Burhan mengancam mau membunuhku. Bapakmu meninggal karena dikhianati si Burhan. Dia ingin merebut harta bapakmu. Kamu harus tobat Sur!”
Cuma sampai situ, Harun meninggal. Tiada kekuasaan, dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Tubuh si Mansur bergetar, lari menuju kubur bapaknya. Sujud menangis tersedu-sedu di nisan bapaknya. Tidak mau pulang. Diam di kuburan. Tengah malam dia tengkurap. Menangis sedemikian sakitnya. Kalau bisa, mungkin dia sampai nangis darah.
Tidak jelas dari mana datangnya, tiba-tiba di hadapan dia ada sesosok mahkluk.
Tinggi besar dan serba putih..
Ketika Mansur bangun, mahkluk putih itu tertawa mengekeh. “Kamu yang membunuh bapak sendiri? Orang yang tidak mempunyai dosa?” bentaknya.
“Aku menjalankan perintah,” jawab Mansur. “Bapakku mata-mata musuh.”
“Ha…ha…ha..,” makhluk putih itu tertawa lagi. “Kamu tidak tahu, itu fitnah! Dosa kamu besar, anak membunuh bapak!”
“Bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh !” jawab si Mansur.
Mahkluk itu mendekat. Si Mansur semakin gemetar.
Tangan mahkluk putih itu terulur. Mencekik leher si Mansur. Si Mansur berteriak……Keringatnya bercucuran, dia bangun. Mimpi yang sangat buruk!
Dia berdiri, wajah bapaknya terlintas dipikirannya, terlintas pula mahkluk putih itu. Mahkluk itu tertawa lagi, keras sekali. Meskipun menutup telinga, suara tawa itu tetap terdengar. “Kamu membunuh bapak! Kamu membunuh bapak!” Terdengar suaranya.
“Bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh!” kata si Mansur berteriak sambil pergi. Tidak henti-henti, terus begitu, berteriak-teriak.
Setiap ingat dia berteriak: bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh!
Anak-anak hanya senang mempermainkan dia.
* * * * * * * * *
Cerpen ini diterjemahkan secara bebas oleh Sony Herdiana. Judul asli Bapa Kuring Mata-Mata Musuh. Diterbitkan di Majalah Sunda no 15 thn II, 31 Mei 1953.
R.A.F, merupakan inisial dari Rachmatullah Ading Affandie, Lahir di Banjar Sari Ciamis, 2 Oktober 1929. Seorang penulis dan budayawan sunda yang aktif di banyak kegiatan. Mulai menulis sejak tahun 1948 di berbagai majalah dan surat kabar. Beberapa hasil karyanya sudah dipublikasikan dalam bentuk buku, diantaranya Tjarita Biasa (1959), dan Dongeng-dongeng Enteng Ti Pasantren (1961).
Bapakku Mata-Mata Musuh
Oleh : R.A.F
“SUR, Bapak di mana? Sur, Bapak di mana?” Anak-anak kecil mengolok-olok si Mansur, orang yang hilang ingatan.
“Hey Sur, mana Bapakmu ?”
“Bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh!” Si Mansur menjawab berulang-ulang sambil memukul-mukulkan tongkat yang dibawanya. Serta merta anak-anak menghambur berlarian sambil tertawa-tawa. Ketika sudah jauh, anak-anak itu bertanya lagi, mengolok-ngolok lagi.
“Sur, Bapakmu mana ?”
Mansur menjawab lagi, memukul-mukulkan tongkat lagi, anak-anak berhamburan lagi, lari lagi, mengolok-olok lagi. Begitu terus, begitu terus. Semakin jauh, semakin jauh. Suara tertawa anak-anak semakin nggak jelas. Hanya terdengar sayup-sayup terbawa angin. Yang masih agak jelas, suara keras si Mansur : “Bapakku mata-mata musuh !, Bapakku mata-mata musuh !” Kasihan…
Anak-anak kecil itu tidak ada yang tahu apa arti kata-kata si Mansur. Anak-anak itu hanya senang bersorak-sorai, serasa ada permainan baru. Senang kalau si Mansur menjawab, mengejar sambil memukul-mukulkan tongkat.
Oleh olok-olok lain si Mansur tidak pernah merasa terganggu. Tapi kalau ditanya perihal bapaknya, sedang apapun juga, dia akan mengejar, memukul-mukulkan tongkat sambil berteriak : “Bapakku mata-mata musuh!”
Sesungguhnya hampir semua orang di kampungku sudah tahu cerita tentang si Mansur. Semua tahu bahwa kurang warasnya si Mansur bukan bawaan semenjak lahir. Bukan gila dari kanak-kanak. Kalau saya melihat dia sedang ‘jadi’, saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil baca istigfar, atau ber ck…ck…ck…sambil menggerendeng : “Kasihan sekali, kasihan sekali….” Atau paling tidak memarahi anak-anak nakal itu, “Anak-anak! jangan digangguin !!”
* * *
Namanya Mansur. Dia sendiri tidak tahu kenapa nama dia Mansur. Anggapannya nama itu sangat jelek. Waktu kecil dia pernah mengusulkan ke bapaknya supaya namanya diganti menjadi Iskandar.
“Supaya agak enak kedengarannya,” begitu katanya.
Mendengar usul seperti itu bapaknya hanya tersenyum simpul.
“Orangtuaku nggak tau nama yang bagus,” kata si Mansur kepada temannya.
Apa sebabnya dia menganggap namanya jelek, tidak ada yang tahu. Bahkan dia sendiripun tidak akan bisa menjawab kalo ada yang bertanya; jelek bagian mananya ? Yang jelas dia merasa namanya tidak sesuai dengan nama orang kebanyakan. Berbeda dengan bapaknya, dia tahu sekali sebab musabab anak tunggalnya itu dikasih nama Mansur.
Katanya : “ Ngasih nama anak itu bukan pekerjaan main-main. Nggak bisa dipikir sambil nguap. Harus dihitung dulu. Nggak bisa sembarangan.”
“Jangankan untuk ngasih nama manusia, ngasih nama kambingpun nggak bisa seenaknya. Harus dihitung weton-nya, harus dihitung untung ruginya.”
“Sebetulnya saya ngasih nama ke anak saya begini,” bapaknya meneruskan ceritanya. “Awalnya dihitung dulu sejarah anaknya, dari mulai lahir ke dunia sampai besar, sampai dewasa. Mansur itu kata dari bahasa arab. Kita ini orang islam. Jadi sudah seharusnya kalau nyari nama ngambil dari bahasa arab. Itu termasuk sebagian dari Iman, mahabah ke Nabi. Karena Nabi kita semua lahirnya di Arab.”
Panjang cerita tentang ini. Dia sampai sempat-sempatnya membaca salah satu ayat dari surat Yusuf. Susah ngikutinnya. Yang saya inget hanya ketika dia menerangkan ilmu sharaf-nya. Katanya : “ Mansur itu isim maf’ul, dari fi’il nasoro, artinya menolong. Begini nih : nasoro-yansuru-nasron-fahuwa nasirun-wadza-ka mansurun. Nah ketemu juga, jadi Mansur itu isim maf’ul artinya yang ditolong. Karena menurut sejarahnya si Mansur hidup karena banyak pertolongan.”
“Dari sejak dikandung begitunya. Ibunya sedang ngidam, dia bener-bener kepengen makan sayur rebung, nggak bisa diganti sama yang lain. Pernah nyari kesana-kemari, tapi nggak tau kenapa yang diinginkan ibunya itu nggak pernah saya temukan. Kebetulan, di atas kereta saya ketemu dengan orang yang bawa rebung dalam keranjang. Malu-malu juga akhirnya memberanikan diri, ibaratnya sambil nangis-nangis minta nuker rebung yang dibawanya. Sepertinya dia kasihan sama saya, terus dia ngasih. Katanya : nggak usah dibayar, ini hanya menolong, nggak ada niatan untuk jual beli.”
“Baru tujuh bulan lewat sedikit, anak itu lahir. Susah sekali, kelahiran pertama, susah pula lahirnya. Celakanya, sebelum jabang bayi lahir, ibunya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Segitu juga alhamdulillah, karena meninggal ketika melahirkan dengan ridlo. Itu jadi keuntungan, tergolong orang yang syahid. Orang yang mati syahid itu terbebas dari siksa kubur. Di akhirat masuk sorga, nggak ke tempat lain.”
“Bagusnya tertolong oleh dokter yang kebetulan sedang bertugas di desa. Bayi lahir dengan selamat. Hidup, meskipun sangat mengkhawatirkan. Kalau menurut peribahasa, cuma sebesar tangan. Alhamdulillah! Disusui oleh bibinya. Bayi tumbuh tanpa banyak diganggu penyakit. Nah, karena itulah, karena hidupnya banyak dari pertolongan orang, sepertinya nama Mansur nama yang paling pas buat dia, dengan harapan untuk seterusnya dia dapat pertolongan dari Yang Maha Suci,” demikian cerita bapaknya.
***
Penampilannya tidak ada yang aneh, biasa saja seperti orang kebanyakan. Kulitnya agak hitam, hidungnya agak pesek, matanya jernih, menandakan otaknya lumayan berisi.
Ada sifat yang sangat baik dari diri si Mansur itu. Dia punya keteguhan hati yang sangat kuat. Kalau punya pendapat, susah digoyahkan oleh orang lain. Si Mansur jarang sekali menjilat ludah, tidak mudah merubah omongannya. Selalu tepat janji. Omongannya bisa dipercaya. Kalau kata dia hitam, susah untuk merubahnya jadi putih atau abu-abu.
Itu sebabnya dari semenjak kecil dia dipercaya orang lain. Sifat-sifat lainnya tidak ada yang aneh, sama saja dengan orang kebanyakan. Dan memang, si Mansur itu bukan orang istimewa, sama saja dengan orang-orang lain.
Disiplin ala Seinenden jaman Jepang semakin menguatkan watak si Mansur. Di tambah oleh jiwa militer, si Mansur semakin berani dan tau akan kewajiban dirinya.
Tidak ada satu perkara jelek yang sama sekali tidak ada baiknya, juga tidak ada satu perkara baik yang tidak ada jeleknya sama sekali. Pun dengan jaman Jepang. Yang menyengsarakan dan menyusahkan, tapi tidak sedikit juga memberikan modal untuk perjuangan kemerdekaan. Jaman Jepang melahirkan manusia militer yang penuh keberanian, yang tahu akan arti berjuang. Seperti si Mansur contohnya.
Waktu mulai revolusi, dia benar-benar menjadi pelopor, berani maju ke depan membela kebenaran. Bukti-bukti dari pertempuran kecil melawan Jepang, jelas-jelas menunjukkan kalo si Mansur orang yang berani dan tegas. Sesuai dengan sifatnya : keteguhan hatinya sulit dirubah-rubah.
***
Revolusi artinya bukan kekacauan atau keributan. Keributan dan kekacauan hanya merupakan hal-hal yang biasa terjadi dalam revolusi. Hampir tidak ada revolusi tanpa kekacauan dan keributan.
Juga yang di alami oleh kita. Sampai akhirnya korban yang timbul dari revolusi biasa disebut korban revolusi. Kadang suka membingungkan, susah membedakannya, yang mana korban perjuangan dalam membela kemerdakaan dan yang mana korban kekacauan waktu revolusi.
***
Waktu itu tengah malam. Gelap gulita, hujan turun semenjak siang, tidak sekejappun berhenti. Di rumah dekat Kaum, para pemuda sedang berkumpul, mendiskusikan masalah perjuangan.
“Saudara-saudara, kita memegang tanggung jawab yang sangat besar,” Burhan yang menjadi pemimpin memulai pembicaraan.
“Perjuangan ada di tangan pemuda. Kita harus berani bertindak. Saat ini secara langsung kita tidak berhadapan dengan musuh yang mau menjajah. Tetapi sesungguhnya kutu-kutu alat penjajah sudah banyak berkeliaran disekitar kita. Banyak orang yang mencoba menghalangi perjuangan kita.”
“Kutu-kutu itu harus kita bereskan!” seorang pemuda menimpali.
“Aku sudah dapat daftarnya, siapa-siapa yang menghalangi perjuangan,” ucap Burhan lagi.
“Kalo begitu, apa susahnya?” kata Mansur.
“Susahnya banyak,” Burhan menimpali lagi. “Kita banyak terikat dengan pertemanan dan tali persaudaraan, banyak yang terkait dengan orang tua dan kerabat.”
“Dalam perjuangan tidak ada orang tua, tidak ada saudara. Kalau memang menghalangi perjuangan, harus dimusnahkan. Kita cinta kepada tanah air, lebih dari cinta kita kepada diri sendiri. Kita sanggup mempertaruhkan nyawa untuk perjuangan.” kata Mansur lagi.
“Sebutkan satu persatu, siapa yang harus dibereskan itu ?” ucap salah seorang pemuda.
“Aku tidak yakin berguna atau tidak, kalau kusebutkan sekarang, sebab belum ketahuan apakah kalian percaya atau tidak, dan apakah kira-kira kalian berani mengerjakannya ?”
“Ini jaman revolusi. Dalam segala tindakan jangan seperti ayam betina. Penakut, nggak punya keberanian. Kita harus tegas, berani atau tidak ?” kata yang lainnya.
“Kalau begitu akan aku sebutkan.”
“Satu! Sumarta tukang kayu!”
“Setuju!” Kata yang lain. “Memang dia suka menghina perjuangan. Bahkan dia tidak mau membeli photo Bung Karno.”
“Kedua!, Lurah Amin. Ketiga!, Haji Kartobi…”
Mendengar nama itu semua diam. Tak ada yang bicara.
“…Bapakku?” kata Mansur.
“Iya, bapakmu!,” jawab Burhan dengan tegas. “Bukti-buktinya sudah ditemukan. Di dalam lencananya ada kain biru. Waktu di geledah, diperutnya ada cap NICA.”
Tidak ada yang berbicara. Semua diam.
“Kalian jangan ingkar dari sumpah,” kata Burhan mulai bicara lagi. “Kalian sudah bersumpah demi nusa dan bangsa, lebih cinta pada perjuangan dibandingkan cinta ke diri sendiri, ke orang tua, atau ke saudara. Dalam perjuangan tidak ada sanak, tidak ada keluarga, kalau ternyata menghalangi jalannya perjuangan, harus dibereskan! Sudah terbukti, Haji Kartobi mata-mata musuh.”
“Kalau memang begitu, harus dibereskan!” kata yang di pojok.
“Saya sanggup membereskannya!” kata yang di pintu.
“Jadi…, malam ini, Sumarta, Lurah Amin, dan Haji Kartobi harus dibereskan !”
“Setujuuu…!!” kata yang lain, serempak.
“Aku minta…” kata Mansur pelan.
“Apa yang mau diminta?” kata Burhan. “Asal jangan ingkar dari azas perjuangan.”
“Aku cinta pada perjuangan, serta cinta ke bapakku sendiri. Permintaanku, jangan ada yang berani membunuh bapakku. Kalau ada, pasti akan terjadi keributan di antara kita. Tentu aku akan balas dendam.”
“Maksudmu ?” Kata Burhan. “Kenapa mata-mata musuh harus dibiarkan hidup ? Hanya karena itu bapakmu ?”
“Jangan kasar begitu…” Kata Mansur. “Maksudku, aku sendiri yang akan menghabisinya, sebab dengan begitu tidak akan ada balas dendam. Tapi ada permintaan, mana buktinya!”
“Jangan terlalu banyak urusan. Ini bukan jaman aman. Kita nggak bisa berlama-lama. Bukti sudah cukup. Haji Kartobi mata-mata musuh ! Kalau kalian tidak berani, aku yang akan membereskannya! Kalau saudara Mansur mau balas dendam, silahkan saja, aku siap. Aku cinta pada perjuangan. Untuk itu, aku rela mengorbankan teman. Tapi aku juga percaya, Bung Mansur bukan agen NICA!”
“Diam!” teriak Mansur. Tubuhnya bergetar karena emosi. “Aku yang akan membereskan. Kalian yang menangkap. Aku tunggu di pinggir sungai!”
“Setuju ! Setuju !”
Para pemuda itu bubar.
***
Hujan semakin lebat. Keadaan makin gelap.
Suara Haji Kartobi terdengar khusyu membaca Yasin. Suaranya naik turun, seperti diiringi oleh suara air mengalir di atap rumah. Khusyu, sangat khusyu.
Kata-katanya –kata-kata arab yang tidak dimengerti- seperti meresap ke dalam tulang. Sangat meresap, sepertinya tidak akan semeresap itu kalau bahasanya bahasa kita sehari-hari. “…Kola ya waelana mambaatsana, mim markhodina-hadza ma waadar-rohmanu wasodakol-mursalun…”
Sangat terasa dan terbayangkan, ayat itu berarti : “Orang-orang bangun dari kubur, melirik ke kiri melirik ke kanan di alam akhir, sambil berkata : Siapa yang membangunkan Kami ? Ini yang dijanjikan oleh yang Maha Pemurah, sungguh benar para rasul.”
Meresap sekali. Waktu sampai pada sakat, diam sebentar sambil menarik nafas, hati bergetar, bergidik, bulu roma berdiri…
Ngajinya hampir selesai, yang menunggu di luar sudah tidak sabar.
Waktu selesai. “Dor! Dor! “ pintu digedor.
“Siapa itu ?” kata Haji Kartobi.
“Saya! Buka pintu!” kata yang di luar.
Tidak lama, pintu dibuka.
Duk! Pemukul mengenai kepala. Bruk! Haji Kartobi rubuh seketika, tidak sadarkan diri. Ingat-ingat sudah di pinggir sungai, karena terasa dinginnya angin yang bertiup, dan terdengar suara air mengalir. Sudah tidak berdaya . Diikat. Matanya ditutup.
“Mau diapakan aku ini?” dia bertanya.
“Jangan banyak cakap! Mata-mata musuh harus dihabisi!”
“A…Aku mau… dibunuh?” tanyanya putus-putus.
“Benar! Untuk kepentingan perjuangan.”
Haji Kartobi tidak menjawab.
“Mang Haji,” kata salah seorang. “Kalau Mamang mau berdo’a, silahkan sekarang saja. Mamang nggak bakalan lama lagi mendengar suara air mengalir, merasakan semilirnya angin.”
“Ternyata kamu, Run?” kata Haji Kartobi, hapal pada suara Harun, teman Mansur.
“Iya Mang, bukan tega, tapi keadaan yang memaksa.”
“Pingin ketemu dengan si Mansur, Run!” Haji Kartobi bicara lagi.
“Dia nggak ada di sini Mang!” jawab Harun.
Kemudian Haji Kartobi ngobrol dengan Harun, sambil menunggu dua korban lainnya datang.
“Ayo, Mang Haji, bersiap-siap,” kata Harun.
“Ya, ini memang sudah nasib Mamang. Harus mati tanapa sebab. Sudah ada ketentuannya. Cuma tolong sampaikan do’a Mamang buat si Mansur.”
“Tunduk!” teriak yang memberi komando. Haji Kartobi menunduk.
“Seperti mendengar suara anakku, si Mansur!” Dia bicara dulu.
Tidak sempat ada yang menjawab. Si Mansur bersiap-siap, pasang kuda-kuda…
Inna Lillahi wa inna ilaihi rodji’un… Mati dihukum tanpa ketahuan salahnya…
***
Perjuangan semakin lama semakin panas. Korban semakin banyak. Pemuda dari kampungku semakin berkurang, diminta oleh perjuangan. Si Burhan sudah lama meninggal, di gorok oleh temannya sendiri karena terlalu serakah.
Si Mansur masih tetap berjuang, tidak pernah berpisah dengan si Harun. Si Harun benar-benar setia pada amanat Haji Kartobi sebelum meninggal. “Jang , nitip anak Mamang !”
Suatu hari, dalam sebuah pertempuran yang sangat seru, tidak ketahuan dari mana datangnya, peluru mendesing mencari korban. Kena di dada si Harun. Mansur memburu. Sahabatnya di peluk.
“A…Aku ..ma…mau… ce..ri…ta… dulu…,” kata si Harun putus-putus.
Mansur tidak menjawab. Tangannya digunakan untuk menutupi dada si Harun yang penuh oleh darah.
“Kamu harus tobat, Sur!”
“Maksud kamu?” Tanya si Mansur.
“Sebenarnya bapak kamu meninggal tanpa kesalahan. Dulu aku nggak berani cerita, si Burhan mengancam mau membunuhku. Bapakmu meninggal karena dikhianati si Burhan. Dia ingin merebut harta bapakmu. Kamu harus tobat Sur!”
Cuma sampai situ, Harun meninggal. Tiada kekuasaan, dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Tubuh si Mansur bergetar, lari menuju kubur bapaknya. Sujud menangis tersedu-sedu di nisan bapaknya. Tidak mau pulang. Diam di kuburan. Tengah malam dia tengkurap. Menangis sedemikian sakitnya. Kalau bisa, mungkin dia sampai nangis darah.
Tidak jelas dari mana datangnya, tiba-tiba di hadapan dia ada sesosok mahkluk.
Tinggi besar dan serba putih..
Ketika Mansur bangun, mahkluk putih itu tertawa mengekeh. “Kamu yang membunuh bapak sendiri? Orang yang tidak mempunyai dosa?” bentaknya.
“Aku menjalankan perintah,” jawab Mansur. “Bapakku mata-mata musuh.”
“Ha…ha…ha..,” makhluk putih itu tertawa lagi. “Kamu tidak tahu, itu fitnah! Dosa kamu besar, anak membunuh bapak!”
“Bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh !” jawab si Mansur.
Mahkluk itu mendekat. Si Mansur semakin gemetar.
Tangan mahkluk putih itu terulur. Mencekik leher si Mansur. Si Mansur berteriak……Keringatnya bercucuran, dia bangun. Mimpi yang sangat buruk!
Dia berdiri, wajah bapaknya terlintas dipikirannya, terlintas pula mahkluk putih itu. Mahkluk itu tertawa lagi, keras sekali. Meskipun menutup telinga, suara tawa itu tetap terdengar. “Kamu membunuh bapak! Kamu membunuh bapak!” Terdengar suaranya.
“Bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh!” kata si Mansur berteriak sambil pergi. Tidak henti-henti, terus begitu, berteriak-teriak.
Setiap ingat dia berteriak: bapakku mata-mata musuh! Bapakku mata-mata musuh!
Anak-anak hanya senang mempermainkan dia.
* * * * * * * * *
Cerpen ini diterjemahkan secara bebas oleh Sony Herdiana. Judul asli Bapa Kuring Mata-Mata Musuh. Diterbitkan di Majalah Sunda no 15 thn II, 31 Mei 1953.
R.A.F, merupakan inisial dari Rachmatullah Ading Affandie, Lahir di Banjar Sari Ciamis, 2 Oktober 1929. Seorang penulis dan budayawan sunda yang aktif di banyak kegiatan. Mulai menulis sejak tahun 1948 di berbagai majalah dan surat kabar. Beberapa hasil karyanya sudah dipublikasikan dalam bentuk buku, diantaranya Tjarita Biasa (1959), dan Dongeng-dongeng Enteng Ti Pasantren (1961).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home