Di Atas Van Couver
Friends, actually, ini adalah cerpen pertama saya yang berhasil tembus media massa. Cerpen remaja, terbit di Majalah Anita Cemerlang sekitar bulan Juni 1994. Sudah cukup lama tapi mudah-mudahan masih asyik untuk dinikmati.
Diatas Van Couver
Cerpen : Sony ‘Asgar’ Herdiana
KALAU saja hari ini aku berjumpa dengan kamu, akan aku peluk kamu, kuciumi pipi dan keningmu, dan kuucapkan sejuta kata terima kasih, atau bahkan semilyar atau lebih banyak lagi mungkin. Kemudian kamu akan kubawa ke atas Van Couper. Berkeliling dunia. Tidak lagi hanya sampai Tanjung Harapan. Tidak lagi hanya empat belas hari. Tapi sepanjang tahun. Ya, sepanjang tahun.
Kamu nggak usah heran atau risi, itu semua kulakukan sebagai wujud rasa simpatiku yang teramat besar kepadamu. Dan mungkin rasa lain yang aku sendiri tidak pernah bisa mendefiniskan perasaan apa itu namanya.
Senin, 29 Juli 1998
Awal libur panjang musim panas yang membuatku uring-uringan. Pasalnya papaku yang diktator menjatuhkan vonis yang maha hebat atas diriku. Dua bulan terakhir, kiriman keuangan tidak pernah sampai ke tanganku. Sialan! Untungnya aku belum lama tinggal di metropolitan, London ini. Jadinya aku belum hapal tempat-tempat mewah yang akan menguras kantongku. Membuatku bisa sedikit ngirit. Tetapi tetap saja, hidup di metropolitan seperti London tidaklah semudah di kota Garut. Untuk mencukupi segala kebutuhanku, terpaksa aku mesti menggelandang di sudut-sudut kota sambil menenteng si Jepret, tustelku tersayang. Jepret sana, jepret sini. Jadi fotografer amatir.
Fotografer amatir. Karena itupula papaku menjadi murka. Papaku menginginkanku menjadi seorang ekonom, seorang bussinesmen. Katanya agar aku bisa meneruskan memimpin perusahaan yang akan diwariskannya. Maka aku dikirimnya ke London Scholl of Economics. Tapi sifat keras kepala papaku rupanya menurun kepadaku. Di London ini aku tidak mengambil ekonomi seperti keinginan papa. Aku malah menekuni fotografi, hobi yang sudah mendarah daging.
Dua bulan lalu papa baru mengetahuinya. Dan dua bulan berlangsung tanpa surat-menyurat, tanpa e-mail, tanpa interlokal. Semua jalur hubungan komunikasi diblokir, sepertinya aku dianggap tidak ada. Mulanya aku sempat miris juga melihat tindakan sewenang-wenang ini. Tapi tidak, sekaranglah aku harus membuktikan bahwa untuk hidup tidak hanya harus menjadi businessman, dengan menjadi seorang fotographer pun aku tidak akan hidup melarat. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa hidup mandiri.
Rencanaku untuk libur di tanah air batal. Aku tak ingin melihat wajah-wajah sinis ditujukan buatku. Aku tak ingin mendengar makian Papa yang tak akan mungkin aku sangkal. Aku pikir, lebih baik jika aku ikut tour menjelajahi pantai barat Afrika. Lebih menyenangkan dan mungkin akan membantu mencairkan otak sumpekku. Dan hari ini, tiket tour itu sudah berada di tanganku.
Selasa 30 Juli 1998
Pagi yang cerah. Aku berdiri di geladak Van Couper, sebuah kapal tua yang asyik buat bertualang, sambil memandang deburan ombak yang datang silih berganti. Pelabuhan Liverpool hari ini terasa lebih ramai. Orang-orang bule dan sebagian kecil negro berlalu lalang. Sementara Van Couper semakin sarat dengan penumpang. Hari ini tour menjelajahi pantai barat Afrika akan dimulai.
Dari pengeras suara sayup-sayup kudengar seruan kapten kapal menyuruh para peserta tour memasuki ruang utama. Mungkin akan ada briefing sebelum kapal berlayar. Aku berjalan gontai menuju lambung Van Couper.
Deretan bangku di ruang utama itu sebagian sudah terisi. Aku mendapati wajah-wajah bule dan sebagian kecil tampang negro dibangku-bangku itu. Tak terlihat olehku raut Asia. Hanya aku seorang. Aku merasa sedikit menyesal, tapi segera kutepis dan meyakinkan diri bahwa akan lebih menyesal lagi jika aku pulang.
Kubenahi bawaanku. Lalu aku memilih tempat duduk. Dari pengeras suara terdengar kapten kapal berbicara. Lima menit lagi Van Couper akan melaut. Aku menarik nafas berat bersamaan dengan ekor mataku menangkap sosok seorang perempuan yang terburu-buru memasuki lambung Van Couper ini.
Perempuan itu berjalan ke arahku. T-Shirt putihnya basah oleh keringat, rupanya ia agak terlambat sehingga harus berjalan cepat-cepat. Dan beberapa detik kemudian ia sudah berdiri di depanku.
“Kursi di sebelahmu kosong?” tanyanya dengan Inggris yang berlogat asing di telingaku. Aku tidak bisa memastikan dari mana cewek ini berasal.
“Yes…,” jawabku pendek.
“May I sit down here?”
Aku hanya memberikan sebuah anggukan.
“Thanks…,” ia berterima kasih. Lalu segera menjatuhkan pantatnya di kursi sebelahku.
Van Couper sudah bergerak beberapa menit yang lalu. Tetapi aku masih belum bisa memastikan asal cewek berhidung bangir di sampingku ini.
“Saya Veronica, tapi panggil saja Vera,” cewek itu mengangsurkan tangan kanannya. Mendengar nama itu sebenarnya aku ingin mengolok-oloknya dengan bertanya ‘Oh, mbak yang bekerja di Telkomsel itu ya?’, tapi karena aku yakin dia tak akan mengerti dengan joke itu jadinya aku langsung menjabat erat tangannya seraya menyebut nama.
“Prasetyo.”
“Pra-set-yo…” cewek bernama Veronica itu mengeja namaku. “That’s good name. saya menyukainya.”
“Thanks,” ucapku.
“Kamu pasti dari Asia.”
“Tebakan yang tepat. Indonesia.”
“Ouw, Indonesia? Negeri indah berpulau banyak itu? Saya pernah dua kali mengunjunginya.”
“Oh ya?”
“Ya, menaklukan puncak Jaya Wijaya dan mengunjungi Bandung, tempat kelahiran papaku. Papaku punya darah Indonesia dari ibunya dan darah Belanda dari bapaknya. Sedangkan mamaku menurunkan darah Italia padaku.”
“Oooooh, kamu gadis gado-gado toh, pantesan aku sulit untuk menebak asalmu,” ucapku dengan logat jawa yang medok. Veronica tersenyum-senyum mendengarnya.
“Aku dibesarkan di Italia.”
“Negeri pizza itu? Masih sodara dong sama Fransesco Totti.”
“Tidak! Saya pacarnya Alexandro Del Piero.”
“Oooooh…!”
Mata Veronica membulat, lalu kami tertawa bareng-bareng.
Kamis, 1 Agustus 1998
Bulan yang bersinar penuh dan semilir angin yang seolah membelai-belai telah membuatku betah berlama-lama berdiri di geladak Van Couper. Apalagi aku ditemani seorang gadis cantik bernama Veronica. Yang walaupun baru kukenal dua hari yang lalu aku sudah merasa akrab dengannya. Gaya bahasanya yang asing dan ngomongnya yang rame membuatku cepat menyukainya. Apalagi dia memiliki wajah campuran yang enak untuk dipandang. Hidungnya yang bangir, matanya yang bening, dan rambutnya yang hitam berhasil mengurangi sedikit kesumpekkan otakku.
Dan ya, itu kamu. Kamu yang kini membuatku rindu. Kamu yang selalu melintas di pikiranku. Yang berasal dari Italia. Yang berdarah gado-gado. Yang ngomongnya rame…
“Kok bengong?” kamu mengusik keasyikanku menghayati keindahan laut di malam hari.
“Aku sedang mengaggumi ciptaan Tuhan,” ucapku pelan.
“Ya, akupun seorang pengagum keindahan. Aku sering naik ke puncak gunung, dan wouw..! Itulah surga dunia versiku. Tenang, damai, aku merasakan kepuasan yang tidak terkirakan.” Kamu berkata-kata panjang lebar.
“Kamu suka naik gunung?”
“Ya, aku biasa naik gunung bersama saudara-saudaraku.”
“Sekarang kok sendirian?”
“Saudara-saudaraku sedang menaiki Aconkagua,” kamu berhenti sesaat. “Aku lagi kepingin merasakan suasana yang lain, suasana laut. Dan coba kamu tebak? aku semakin senang, karena aku jumpa kamu,” lalu kamu tertawa ringan, akupun tertawa. Ada sedikit rasa tersanjung mampir di dadaku.
“Jangan begitu ah, aku jadi nggak enak,” ucapku dengan wajah pura-pura malu. Kamu memukul bahuku pelan.
“By the way, tidak takut pergi sendirian?”
Kamu mendelik ke arahku.
“Jangan dikira ya, aku pemegang sabuk hitam karate lo. Kalau ada yang coba mengganggu, mawashi gery-ku akan menghajar wajahnya. Kamu mau coba?” katamu berapi-api, tangan kananmu terkepal.
"Tidak, tidak…, aku hanya bisa Jaipong,” kataku. Kamu mendelik lagi. Dan beberapa detik kemudian tawa kitapun pecah.
Aku merapatkan mantel. Syal yang melilit di leherku semakin kuperketat. Udara kurasa semakin dingin. Angin berhembus dari utara. Aku merapatkan jari lalu kusimpan di depan mulut. Batuk-batuk kecil keluar dari mulutku. Sebuah sapu tangan segera menyekanya.
“Kamu sakit…?” kamu bertanya padaku saat itu. Lalu kujawab tidak. Tapi kamu tidak percaya dan menyuruhku beristirahat.
“Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang keki gara-gara surat cintaku nggak dibalas-balas oleh Britney Spears.”
Kamu tertawa-tawa mendengar penuturanku. Tetapi aku tidak. Batuk-batuk kecil kembali menggangguku.
Sabtu 3 Agustus 1998
Gara-gara aku tak mengacuhkan saran kamu, aku kini harus berbaring di atas tempat tidur. Tubuhku terasa lemas. Seluruh sendi-sendiku terasa berlolosan. Memang benar katamu, waktu itu aku merasa sakit. Tapi gara-gara kamu juga, aku merasa betah berdiri di atas geladak.
Pintu kamar terdengar diketuk. Aku melipat majalah yang sedang kubaca.
“Masuk,” kataku. Lalu aku melihat senyum kamu tersembul dibalik daun pintu. Sungguh aku suka senyum kamu itu.
“Sudah baikkan?” kamu bertanya.
“Belum,” jawabku. “Aku takut disuntik.”
Kamu tertawa mendengarnya. Satu lagi yang aku suka dari kamu, tawa kamu itu.
“Ini aku bawakan makanan buat kamu. Prasetyo harus makan banyak. Biar cepat sembuh. Nanti kita ngobrol lagi.” Itu yang kamu katakan, seperti seorang ibu yang sedang memanjakan anak kesayangannya. Dan karena itu, aku menjadi sangat bersyukur bisa jumpa dan kenal dengan kamu. Rasa simpati menyembul perlahan-lahan dari relung hatiku. Aku tersenyum sendiri di dalam hati…
Rabu, 7 Agustus 1998
Van Couper sudah sembilan hari melaut. Kondisiku masih belum pulih juga. Beberapa kali aku melewatkan jadwal jalan-jalan ketika Van Couper singgah di kota-kota pantai yang dilalui rute tour ini. Cukup kusesali, meskipun aku lebih menyesal lagi karena tidak bisa berdiri berlama-lama lagi di atas geladak sambil berbincang dengan kamu, mendengarkan celoteh kamu, dan mendengarkan tawa kamu sambil menikmati indahnya alam.
“Prasetyo belum sembuh benar. Prasetyo harus banyak istirahat,” kamu mengingatkanku.
“Aku tidak sakit.”
“Prasetyo memang tidak sakit, tapi Prasetyo capek. Kata dokter, Prasetyo harus banyak istirahat. Obatnya sudah diminum?”
Aku menggelangkan kepala diikuti oleh gelengan kepala juga dari kamu.
“Prasetyo tidak boleh begitu. Prasetyo harus minum obat.”
Lalu kamu berdiri. Menghampiri meja dimana obat-obatku tersimpan. Segelas air putih di tangan kanan dan beberapa butir obat di tangan kiri kamu bawakan untukku. Aku tidak bisa menolak ketika kamu memasukkan zat-zat kimia itu ke mulutku dan membasahi kerongkonganku dengan air putih yang tadi kamu bawa. Rasanya aku ingin menangis. Sebelumnya aku tak pernah mendapatkan perhatian yang begini besar. Bahkan dari kedua orang tuaku. Mama dan Papa terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Prasetyo terlalu banyak pikiran, tubuh Prasetyo lemah jadinya. Prasetyo harus mengikuti semua anjuran dokter, supaya Prasetyo cepat sembuh.”
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus menangis, harus tertawa atau tersenyum-senyum. Tetapi yang aku tahu, aku tidak bisa berdusta. Aku tidak bisa membohongi kamu, Veronica. Dan semua yang ada di kepalaku, semua yang jadi pikiranku meluncur dengan mulus. Kamu hanya terdiam mendengarkan apa yang aku ucapkan dengan seksama. Sungguh! Kamulah pendengar terbaik yang pernah aku temukan. Kamu mau mendengar semua keluh kesahku. Kamu mau menampung semua yang jadi beban pikiranku.
Kamu menghela nafas panjang begitu aku selesai membeberkan semua yang ada dan menjadi problemaku. Kamu terdiam beberapa saat. Lalu mulai berkata-kata.
“Prasetyo jangan menganggap masalah Prasetyo itu sebagai suatu beban, tapi harus menganggapnya sebagai tantangan yang harus di taklukan. Maksud papa Prasetyo mungkin baik, tetapi kalau memang Prasetyo mempunyai pemikiran yang lain Prasetyo boleh kok menolaknya, tapi Prasetyo harus bisa memberika bukti dan keyakinan pada Papa Prasetyo bahwa apa yang Prasetyo lakukan itu untuk kebaikan juga.” Kamu berkata-kata panjang lebar.
“Dulu saya juga dilarang naik gunung,” kamu mulai berkata-kata lagi. “Tapi saya terus berusaha meyakinkan Papa dan Mama bahwa apa yang saya lakukan adalah untuk kebaikan saya juga. Saya memberi bukti bahwa saya baik-baik saja, bisa menjaga diri, dan akhirnya malah menjadi kebanggaan negara karena kegiatan saya bisa menjadi promosi yang baik bagi negara. Mama dan papa akhirnya mau memahami. Dan kini Vera bisa bebas naik turun gunung tanpa hambatan.” Kamu jeda beberapa saat. Aku diam menunggu kata-kata kamu selanjutnya.
Seperti biasa, kamu menarik nafas sebelum melanjutkan kata-kata.
“Atau Prasetyo mau mencontoh Antonio, kakak saya. Ia seorang wartawan hebat di Italia. Pada mulanya Papa melarang Antonio menjadi wartawan. Tetapi Antonio tidak mau menyerah, ia terus melanjutkan sekolahnya. Antonio terus membujuk papa dengan memperlihatkan prestasi yang ia capai selama kuliah. Ia lulus dengan predikat cum laude. Tak lama kemudian ia diangkat menjadi seorang wartawan di sebuah surat kabar. Papa agak sedikit berubah, dan ia malah balik membanggakan Antonio karena beberapa bulan kemudian Antonio terpilih sebagai wartawan muda terbaik di negeri kami.” Lagi-lagi kamu menghentikan kata-kata.
“Prasetyo bisa mencontoh Antonio. Kalau Prasetyo bisa meraih Pulitzer misalnya, Papa kamu pasti akan merasa bangga. Jadi Prasetyo jangan merasa berkecil hati. Banyak jalan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Prasetyo.”
Aku tidak mampu berkata-kata seperti yang kamu lakukan. Aku hanya mampu menggerakkan tanganku. Menggenggam jemarimu. Aku merasakan lidahku kelu, bibirku bergetar.
“Kamu baik sekali,” hanya itu yang bisa aku ucapkan saat itu. Aku sangat berbahagia sekali bisa jumpa dan kenal dengan kamu. Yang sangat baik, sangat perhatian, mau berbagi rasa dan memberiku rasa haru. Simpatiku makin membesar dan akan terus membesar.
Kamu mendesah. Aku tahu kamu jengah karena pujianku tadi. Tapi kamu memang pantas mendapatkan pujian itu, bahkan seharusnya lebih dari itu.
Kamu berdiri. Mengambil majalah yang tergelat di atas meja. Duduk lagi di sampingku dan kita sama-sama membuka majalah itu.
“Sekarang kita bicara yang indah-indah saja…” Lalu seperti seorang bapak yang sedang mendongeng untuk menidurkan anaknya, kamu mulai membaca sebuah cerita. Pada suatu ketika tersebutlah….
Senin, 12 Agustus 1998
Empat belas hari sudah aku bersama Van Couper, dan tentunya juga bersama kamu. Van Couper besok akan merapat di Tanjung Harapan. Tetapi kondisiku masih belum pulih seratus persen. Kata dokter aku masih harus beristirahat di atas tempat tidur.
Tetapi aku memang bandel, tak mengindahkan nasehat dokter, tak mengindahkan peringatanmu. Aku memaksa untuk berdiri berlama-lama di atas geladak. Kamu bersusah payah mengingatkanku akan kondisi yang belum prima. Kamu menyuruhku untuk kembali ke tempat tidur. Tapi semua usaha kamu sia-sia. Aku tetap memaksa untuk berdiri berlama-lama di atas geladak, bercanda dengan angin laut.
Akhirnya kamu menyerah. Kamu membiarkanku berdiri berlama-lama. Tetapi kamu tetap menyertaiku. Menemaniku berbincang. Menemaniku beradu tawa. Menemaniku bermain-main dengan angin-angin genit yang tak pernaha berhenti bertiup. Angin-angin jahat yang membuatku terbatuk-batuk. Yang membuat kamu langsung merasa khawatir dan menyuruhku cepat-cepat masuk kamar. Tapi aku memang keras kepala. Lagu-lagi aku tak mengindahakan kebaikanmu. Dan lagi-lagi kamu menyerah.
Namun akibatnya tubuhku menjadi ambruk. Semalaman demam menyerangku. Dan kali ini agaknya sakitku lebih serius dibanding sebelumnya. Sehingga aku dilarikan ke sebuah rumah sakit ketika Van Couper merapat. Kamu menyertaiku dengan setia. Kulihat wajah kamu mengandung kesedihan saat itu. Aku tak tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Tapi aku yakin, kamu sedang mengkhawatirkan diriku.
Kamu menemaniku semalaman. Waktu itu kita berbincang lama sekali. Meskipun aku merasa kamu agak kurang suka karena beberapa kali aku mengabaikan saranmu untuk cepat tidur. Meskipun akhirnya aku tertidur juga.
Rupanya tidurku sangat pulas. Aku terbangun tepat ketika jarum jam yang menempel di dinding menunjukkan angka sembilan. Di meja aku melihat sepotong roti dan segelas susu. Juga sebuah vas bunga yang di tata dengan manis. Tetapi aku tidak melihat kamu.
Pintu kamar terbuka. Seorang suster masuk. Ditangannya ada seikat kembang.
“Nyenyak tidurnya Pak?” suster itu menyapaku. “Nona yang semalam menemani anda menitipkan ini buat anda,” suster itu menyerahkan kembang yang ada di tangannya.
Rupanya kembang itu dari kamu. Di dalamnya kudapati sepucuk surat bersampul biru muda. Kamu tahu, aku tak berlama-lama lagi, langsung membuka surat kamu itu.
Isinya singkat saja. Kamu mengingatkanku untuk jangan berkecil hati, kamu bilang masalahku akan segera dapat aku selesaikan. Kamu juga mengingatkanku agar selalu menuruti nasehat dokter. Kamupun mengatakan bahwa kamu sangat senang dan sangat berbahagia bisa jumpa denganku, katamu, kamu menyukaiku. Dan akhirnya kamu meminta ma’af karena kamu tidak bisa menemuiku. Katamu, kamu tidak tega membangunkanku yang sedang terlelap dan satu sebab lainnya, kamu tidak sanggup untuk mengucapkan kata selamat tinggal. Katamu, kamu harus cepat-cepat kembali ke Italia. Aku tak tahu untuk alasan apa.
Kamu tahu, saat itu rasanya aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Menghabiskan semua air mata yang ada padaku. Tapi akhirnya aku menyadari. Kamu tak akan pernah mendustaiku, meskipun aku merasa sedikit kecewa, kamu tidak meninggalkan alamat atau nomer kontak apapun. Tapi terus terang, rasa simpatiku tak akan berkurang hanya karena itu. Kamu telah menanamkannya teramat dalam. Atau ini yang dikatakan cinta?
Sabtu, 9 November 1998
Hujan turun sangat lebat. November Rain.
Veronica, kamu harus tahu, saat ini aku sedang tidur-tiduran. Di telapak tanganku tersimpan gambarmu yang dulu aku buat. Kamu sedang tertawa. Sungguh sangat cantik kamu, aku mengaguminya. Lebih-lebih pada sikapmu. Aku sangat terkagum-kagum.
Veronica, benar semua kata-katamu. Nasehatmu sungguh-sungguuh sangat berguna. Kamupun harus tahu, aku kini sudah berbaikan dengan papa. Semua itu berkat kamu, Veronica. Aku ingin mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Hanya dengan tulisan ini aku dapat melakukannya.
Veronica aku kini lebih tekun belajar. Aku ingin seperti kakamu, Antonio. Dan seperti katamu, Pulitzer akan kuraih untuk kupersembahkan kepadamu. Cewek terbaik yang pernah kutemukan dalam hidupku.
Veronica, di telapak tanganku kini tersimpan gambarmu yang dulu aku buat. Kamu sedang tertawa. Dan kamupun harus tahu, gambar itu akan selalu bersamaku.***
Diatas Van Couver
Cerpen : Sony ‘Asgar’ Herdiana
KALAU saja hari ini aku berjumpa dengan kamu, akan aku peluk kamu, kuciumi pipi dan keningmu, dan kuucapkan sejuta kata terima kasih, atau bahkan semilyar atau lebih banyak lagi mungkin. Kemudian kamu akan kubawa ke atas Van Couper. Berkeliling dunia. Tidak lagi hanya sampai Tanjung Harapan. Tidak lagi hanya empat belas hari. Tapi sepanjang tahun. Ya, sepanjang tahun.
Kamu nggak usah heran atau risi, itu semua kulakukan sebagai wujud rasa simpatiku yang teramat besar kepadamu. Dan mungkin rasa lain yang aku sendiri tidak pernah bisa mendefiniskan perasaan apa itu namanya.
Senin, 29 Juli 1998
Awal libur panjang musim panas yang membuatku uring-uringan. Pasalnya papaku yang diktator menjatuhkan vonis yang maha hebat atas diriku. Dua bulan terakhir, kiriman keuangan tidak pernah sampai ke tanganku. Sialan! Untungnya aku belum lama tinggal di metropolitan, London ini. Jadinya aku belum hapal tempat-tempat mewah yang akan menguras kantongku. Membuatku bisa sedikit ngirit. Tetapi tetap saja, hidup di metropolitan seperti London tidaklah semudah di kota Garut. Untuk mencukupi segala kebutuhanku, terpaksa aku mesti menggelandang di sudut-sudut kota sambil menenteng si Jepret, tustelku tersayang. Jepret sana, jepret sini. Jadi fotografer amatir.
Fotografer amatir. Karena itupula papaku menjadi murka. Papaku menginginkanku menjadi seorang ekonom, seorang bussinesmen. Katanya agar aku bisa meneruskan memimpin perusahaan yang akan diwariskannya. Maka aku dikirimnya ke London Scholl of Economics. Tapi sifat keras kepala papaku rupanya menurun kepadaku. Di London ini aku tidak mengambil ekonomi seperti keinginan papa. Aku malah menekuni fotografi, hobi yang sudah mendarah daging.
Dua bulan lalu papa baru mengetahuinya. Dan dua bulan berlangsung tanpa surat-menyurat, tanpa e-mail, tanpa interlokal. Semua jalur hubungan komunikasi diblokir, sepertinya aku dianggap tidak ada. Mulanya aku sempat miris juga melihat tindakan sewenang-wenang ini. Tapi tidak, sekaranglah aku harus membuktikan bahwa untuk hidup tidak hanya harus menjadi businessman, dengan menjadi seorang fotographer pun aku tidak akan hidup melarat. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa hidup mandiri.
Rencanaku untuk libur di tanah air batal. Aku tak ingin melihat wajah-wajah sinis ditujukan buatku. Aku tak ingin mendengar makian Papa yang tak akan mungkin aku sangkal. Aku pikir, lebih baik jika aku ikut tour menjelajahi pantai barat Afrika. Lebih menyenangkan dan mungkin akan membantu mencairkan otak sumpekku. Dan hari ini, tiket tour itu sudah berada di tanganku.
Selasa 30 Juli 1998
Pagi yang cerah. Aku berdiri di geladak Van Couper, sebuah kapal tua yang asyik buat bertualang, sambil memandang deburan ombak yang datang silih berganti. Pelabuhan Liverpool hari ini terasa lebih ramai. Orang-orang bule dan sebagian kecil negro berlalu lalang. Sementara Van Couper semakin sarat dengan penumpang. Hari ini tour menjelajahi pantai barat Afrika akan dimulai.
Dari pengeras suara sayup-sayup kudengar seruan kapten kapal menyuruh para peserta tour memasuki ruang utama. Mungkin akan ada briefing sebelum kapal berlayar. Aku berjalan gontai menuju lambung Van Couper.
Deretan bangku di ruang utama itu sebagian sudah terisi. Aku mendapati wajah-wajah bule dan sebagian kecil tampang negro dibangku-bangku itu. Tak terlihat olehku raut Asia. Hanya aku seorang. Aku merasa sedikit menyesal, tapi segera kutepis dan meyakinkan diri bahwa akan lebih menyesal lagi jika aku pulang.
Kubenahi bawaanku. Lalu aku memilih tempat duduk. Dari pengeras suara terdengar kapten kapal berbicara. Lima menit lagi Van Couper akan melaut. Aku menarik nafas berat bersamaan dengan ekor mataku menangkap sosok seorang perempuan yang terburu-buru memasuki lambung Van Couper ini.
Perempuan itu berjalan ke arahku. T-Shirt putihnya basah oleh keringat, rupanya ia agak terlambat sehingga harus berjalan cepat-cepat. Dan beberapa detik kemudian ia sudah berdiri di depanku.
“Kursi di sebelahmu kosong?” tanyanya dengan Inggris yang berlogat asing di telingaku. Aku tidak bisa memastikan dari mana cewek ini berasal.
“Yes…,” jawabku pendek.
“May I sit down here?”
Aku hanya memberikan sebuah anggukan.
“Thanks…,” ia berterima kasih. Lalu segera menjatuhkan pantatnya di kursi sebelahku.
Van Couper sudah bergerak beberapa menit yang lalu. Tetapi aku masih belum bisa memastikan asal cewek berhidung bangir di sampingku ini.
“Saya Veronica, tapi panggil saja Vera,” cewek itu mengangsurkan tangan kanannya. Mendengar nama itu sebenarnya aku ingin mengolok-oloknya dengan bertanya ‘Oh, mbak yang bekerja di Telkomsel itu ya?’, tapi karena aku yakin dia tak akan mengerti dengan joke itu jadinya aku langsung menjabat erat tangannya seraya menyebut nama.
“Prasetyo.”
“Pra-set-yo…” cewek bernama Veronica itu mengeja namaku. “That’s good name. saya menyukainya.”
“Thanks,” ucapku.
“Kamu pasti dari Asia.”
“Tebakan yang tepat. Indonesia.”
“Ouw, Indonesia? Negeri indah berpulau banyak itu? Saya pernah dua kali mengunjunginya.”
“Oh ya?”
“Ya, menaklukan puncak Jaya Wijaya dan mengunjungi Bandung, tempat kelahiran papaku. Papaku punya darah Indonesia dari ibunya dan darah Belanda dari bapaknya. Sedangkan mamaku menurunkan darah Italia padaku.”
“Oooooh, kamu gadis gado-gado toh, pantesan aku sulit untuk menebak asalmu,” ucapku dengan logat jawa yang medok. Veronica tersenyum-senyum mendengarnya.
“Aku dibesarkan di Italia.”
“Negeri pizza itu? Masih sodara dong sama Fransesco Totti.”
“Tidak! Saya pacarnya Alexandro Del Piero.”
“Oooooh…!”
Mata Veronica membulat, lalu kami tertawa bareng-bareng.
Kamis, 1 Agustus 1998
Bulan yang bersinar penuh dan semilir angin yang seolah membelai-belai telah membuatku betah berlama-lama berdiri di geladak Van Couper. Apalagi aku ditemani seorang gadis cantik bernama Veronica. Yang walaupun baru kukenal dua hari yang lalu aku sudah merasa akrab dengannya. Gaya bahasanya yang asing dan ngomongnya yang rame membuatku cepat menyukainya. Apalagi dia memiliki wajah campuran yang enak untuk dipandang. Hidungnya yang bangir, matanya yang bening, dan rambutnya yang hitam berhasil mengurangi sedikit kesumpekkan otakku.
Dan ya, itu kamu. Kamu yang kini membuatku rindu. Kamu yang selalu melintas di pikiranku. Yang berasal dari Italia. Yang berdarah gado-gado. Yang ngomongnya rame…
“Kok bengong?” kamu mengusik keasyikanku menghayati keindahan laut di malam hari.
“Aku sedang mengaggumi ciptaan Tuhan,” ucapku pelan.
“Ya, akupun seorang pengagum keindahan. Aku sering naik ke puncak gunung, dan wouw..! Itulah surga dunia versiku. Tenang, damai, aku merasakan kepuasan yang tidak terkirakan.” Kamu berkata-kata panjang lebar.
“Kamu suka naik gunung?”
“Ya, aku biasa naik gunung bersama saudara-saudaraku.”
“Sekarang kok sendirian?”
“Saudara-saudaraku sedang menaiki Aconkagua,” kamu berhenti sesaat. “Aku lagi kepingin merasakan suasana yang lain, suasana laut. Dan coba kamu tebak? aku semakin senang, karena aku jumpa kamu,” lalu kamu tertawa ringan, akupun tertawa. Ada sedikit rasa tersanjung mampir di dadaku.
“Jangan begitu ah, aku jadi nggak enak,” ucapku dengan wajah pura-pura malu. Kamu memukul bahuku pelan.
“By the way, tidak takut pergi sendirian?”
Kamu mendelik ke arahku.
“Jangan dikira ya, aku pemegang sabuk hitam karate lo. Kalau ada yang coba mengganggu, mawashi gery-ku akan menghajar wajahnya. Kamu mau coba?” katamu berapi-api, tangan kananmu terkepal.
"Tidak, tidak…, aku hanya bisa Jaipong,” kataku. Kamu mendelik lagi. Dan beberapa detik kemudian tawa kitapun pecah.
Aku merapatkan mantel. Syal yang melilit di leherku semakin kuperketat. Udara kurasa semakin dingin. Angin berhembus dari utara. Aku merapatkan jari lalu kusimpan di depan mulut. Batuk-batuk kecil keluar dari mulutku. Sebuah sapu tangan segera menyekanya.
“Kamu sakit…?” kamu bertanya padaku saat itu. Lalu kujawab tidak. Tapi kamu tidak percaya dan menyuruhku beristirahat.
“Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang keki gara-gara surat cintaku nggak dibalas-balas oleh Britney Spears.”
Kamu tertawa-tawa mendengar penuturanku. Tetapi aku tidak. Batuk-batuk kecil kembali menggangguku.
Sabtu 3 Agustus 1998
Gara-gara aku tak mengacuhkan saran kamu, aku kini harus berbaring di atas tempat tidur. Tubuhku terasa lemas. Seluruh sendi-sendiku terasa berlolosan. Memang benar katamu, waktu itu aku merasa sakit. Tapi gara-gara kamu juga, aku merasa betah berdiri di atas geladak.
Pintu kamar terdengar diketuk. Aku melipat majalah yang sedang kubaca.
“Masuk,” kataku. Lalu aku melihat senyum kamu tersembul dibalik daun pintu. Sungguh aku suka senyum kamu itu.
“Sudah baikkan?” kamu bertanya.
“Belum,” jawabku. “Aku takut disuntik.”
Kamu tertawa mendengarnya. Satu lagi yang aku suka dari kamu, tawa kamu itu.
“Ini aku bawakan makanan buat kamu. Prasetyo harus makan banyak. Biar cepat sembuh. Nanti kita ngobrol lagi.” Itu yang kamu katakan, seperti seorang ibu yang sedang memanjakan anak kesayangannya. Dan karena itu, aku menjadi sangat bersyukur bisa jumpa dan kenal dengan kamu. Rasa simpati menyembul perlahan-lahan dari relung hatiku. Aku tersenyum sendiri di dalam hati…
Rabu, 7 Agustus 1998
Van Couper sudah sembilan hari melaut. Kondisiku masih belum pulih juga. Beberapa kali aku melewatkan jadwal jalan-jalan ketika Van Couper singgah di kota-kota pantai yang dilalui rute tour ini. Cukup kusesali, meskipun aku lebih menyesal lagi karena tidak bisa berdiri berlama-lama lagi di atas geladak sambil berbincang dengan kamu, mendengarkan celoteh kamu, dan mendengarkan tawa kamu sambil menikmati indahnya alam.
“Prasetyo belum sembuh benar. Prasetyo harus banyak istirahat,” kamu mengingatkanku.
“Aku tidak sakit.”
“Prasetyo memang tidak sakit, tapi Prasetyo capek. Kata dokter, Prasetyo harus banyak istirahat. Obatnya sudah diminum?”
Aku menggelangkan kepala diikuti oleh gelengan kepala juga dari kamu.
“Prasetyo tidak boleh begitu. Prasetyo harus minum obat.”
Lalu kamu berdiri. Menghampiri meja dimana obat-obatku tersimpan. Segelas air putih di tangan kanan dan beberapa butir obat di tangan kiri kamu bawakan untukku. Aku tidak bisa menolak ketika kamu memasukkan zat-zat kimia itu ke mulutku dan membasahi kerongkonganku dengan air putih yang tadi kamu bawa. Rasanya aku ingin menangis. Sebelumnya aku tak pernah mendapatkan perhatian yang begini besar. Bahkan dari kedua orang tuaku. Mama dan Papa terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Prasetyo terlalu banyak pikiran, tubuh Prasetyo lemah jadinya. Prasetyo harus mengikuti semua anjuran dokter, supaya Prasetyo cepat sembuh.”
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus menangis, harus tertawa atau tersenyum-senyum. Tetapi yang aku tahu, aku tidak bisa berdusta. Aku tidak bisa membohongi kamu, Veronica. Dan semua yang ada di kepalaku, semua yang jadi pikiranku meluncur dengan mulus. Kamu hanya terdiam mendengarkan apa yang aku ucapkan dengan seksama. Sungguh! Kamulah pendengar terbaik yang pernah aku temukan. Kamu mau mendengar semua keluh kesahku. Kamu mau menampung semua yang jadi beban pikiranku.
Kamu menghela nafas panjang begitu aku selesai membeberkan semua yang ada dan menjadi problemaku. Kamu terdiam beberapa saat. Lalu mulai berkata-kata.
“Prasetyo jangan menganggap masalah Prasetyo itu sebagai suatu beban, tapi harus menganggapnya sebagai tantangan yang harus di taklukan. Maksud papa Prasetyo mungkin baik, tetapi kalau memang Prasetyo mempunyai pemikiran yang lain Prasetyo boleh kok menolaknya, tapi Prasetyo harus bisa memberika bukti dan keyakinan pada Papa Prasetyo bahwa apa yang Prasetyo lakukan itu untuk kebaikan juga.” Kamu berkata-kata panjang lebar.
“Dulu saya juga dilarang naik gunung,” kamu mulai berkata-kata lagi. “Tapi saya terus berusaha meyakinkan Papa dan Mama bahwa apa yang saya lakukan adalah untuk kebaikan saya juga. Saya memberi bukti bahwa saya baik-baik saja, bisa menjaga diri, dan akhirnya malah menjadi kebanggaan negara karena kegiatan saya bisa menjadi promosi yang baik bagi negara. Mama dan papa akhirnya mau memahami. Dan kini Vera bisa bebas naik turun gunung tanpa hambatan.” Kamu jeda beberapa saat. Aku diam menunggu kata-kata kamu selanjutnya.
Seperti biasa, kamu menarik nafas sebelum melanjutkan kata-kata.
“Atau Prasetyo mau mencontoh Antonio, kakak saya. Ia seorang wartawan hebat di Italia. Pada mulanya Papa melarang Antonio menjadi wartawan. Tetapi Antonio tidak mau menyerah, ia terus melanjutkan sekolahnya. Antonio terus membujuk papa dengan memperlihatkan prestasi yang ia capai selama kuliah. Ia lulus dengan predikat cum laude. Tak lama kemudian ia diangkat menjadi seorang wartawan di sebuah surat kabar. Papa agak sedikit berubah, dan ia malah balik membanggakan Antonio karena beberapa bulan kemudian Antonio terpilih sebagai wartawan muda terbaik di negeri kami.” Lagi-lagi kamu menghentikan kata-kata.
“Prasetyo bisa mencontoh Antonio. Kalau Prasetyo bisa meraih Pulitzer misalnya, Papa kamu pasti akan merasa bangga. Jadi Prasetyo jangan merasa berkecil hati. Banyak jalan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Prasetyo.”
Aku tidak mampu berkata-kata seperti yang kamu lakukan. Aku hanya mampu menggerakkan tanganku. Menggenggam jemarimu. Aku merasakan lidahku kelu, bibirku bergetar.
“Kamu baik sekali,” hanya itu yang bisa aku ucapkan saat itu. Aku sangat berbahagia sekali bisa jumpa dan kenal dengan kamu. Yang sangat baik, sangat perhatian, mau berbagi rasa dan memberiku rasa haru. Simpatiku makin membesar dan akan terus membesar.
Kamu mendesah. Aku tahu kamu jengah karena pujianku tadi. Tapi kamu memang pantas mendapatkan pujian itu, bahkan seharusnya lebih dari itu.
Kamu berdiri. Mengambil majalah yang tergelat di atas meja. Duduk lagi di sampingku dan kita sama-sama membuka majalah itu.
“Sekarang kita bicara yang indah-indah saja…” Lalu seperti seorang bapak yang sedang mendongeng untuk menidurkan anaknya, kamu mulai membaca sebuah cerita. Pada suatu ketika tersebutlah….
Senin, 12 Agustus 1998
Empat belas hari sudah aku bersama Van Couper, dan tentunya juga bersama kamu. Van Couper besok akan merapat di Tanjung Harapan. Tetapi kondisiku masih belum pulih seratus persen. Kata dokter aku masih harus beristirahat di atas tempat tidur.
Tetapi aku memang bandel, tak mengindahkan nasehat dokter, tak mengindahkan peringatanmu. Aku memaksa untuk berdiri berlama-lama di atas geladak. Kamu bersusah payah mengingatkanku akan kondisi yang belum prima. Kamu menyuruhku untuk kembali ke tempat tidur. Tapi semua usaha kamu sia-sia. Aku tetap memaksa untuk berdiri berlama-lama di atas geladak, bercanda dengan angin laut.
Akhirnya kamu menyerah. Kamu membiarkanku berdiri berlama-lama. Tetapi kamu tetap menyertaiku. Menemaniku berbincang. Menemaniku beradu tawa. Menemaniku bermain-main dengan angin-angin genit yang tak pernaha berhenti bertiup. Angin-angin jahat yang membuatku terbatuk-batuk. Yang membuat kamu langsung merasa khawatir dan menyuruhku cepat-cepat masuk kamar. Tapi aku memang keras kepala. Lagu-lagi aku tak mengindahakan kebaikanmu. Dan lagi-lagi kamu menyerah.
Namun akibatnya tubuhku menjadi ambruk. Semalaman demam menyerangku. Dan kali ini agaknya sakitku lebih serius dibanding sebelumnya. Sehingga aku dilarikan ke sebuah rumah sakit ketika Van Couper merapat. Kamu menyertaiku dengan setia. Kulihat wajah kamu mengandung kesedihan saat itu. Aku tak tahu apa yang sedang kamu pikirkan. Tapi aku yakin, kamu sedang mengkhawatirkan diriku.
Kamu menemaniku semalaman. Waktu itu kita berbincang lama sekali. Meskipun aku merasa kamu agak kurang suka karena beberapa kali aku mengabaikan saranmu untuk cepat tidur. Meskipun akhirnya aku tertidur juga.
Rupanya tidurku sangat pulas. Aku terbangun tepat ketika jarum jam yang menempel di dinding menunjukkan angka sembilan. Di meja aku melihat sepotong roti dan segelas susu. Juga sebuah vas bunga yang di tata dengan manis. Tetapi aku tidak melihat kamu.
Pintu kamar terbuka. Seorang suster masuk. Ditangannya ada seikat kembang.
“Nyenyak tidurnya Pak?” suster itu menyapaku. “Nona yang semalam menemani anda menitipkan ini buat anda,” suster itu menyerahkan kembang yang ada di tangannya.
Rupanya kembang itu dari kamu. Di dalamnya kudapati sepucuk surat bersampul biru muda. Kamu tahu, aku tak berlama-lama lagi, langsung membuka surat kamu itu.
Isinya singkat saja. Kamu mengingatkanku untuk jangan berkecil hati, kamu bilang masalahku akan segera dapat aku selesaikan. Kamu juga mengingatkanku agar selalu menuruti nasehat dokter. Kamupun mengatakan bahwa kamu sangat senang dan sangat berbahagia bisa jumpa denganku, katamu, kamu menyukaiku. Dan akhirnya kamu meminta ma’af karena kamu tidak bisa menemuiku. Katamu, kamu tidak tega membangunkanku yang sedang terlelap dan satu sebab lainnya, kamu tidak sanggup untuk mengucapkan kata selamat tinggal. Katamu, kamu harus cepat-cepat kembali ke Italia. Aku tak tahu untuk alasan apa.
Kamu tahu, saat itu rasanya aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Menghabiskan semua air mata yang ada padaku. Tapi akhirnya aku menyadari. Kamu tak akan pernah mendustaiku, meskipun aku merasa sedikit kecewa, kamu tidak meninggalkan alamat atau nomer kontak apapun. Tapi terus terang, rasa simpatiku tak akan berkurang hanya karena itu. Kamu telah menanamkannya teramat dalam. Atau ini yang dikatakan cinta?
Sabtu, 9 November 1998
Hujan turun sangat lebat. November Rain.
Veronica, kamu harus tahu, saat ini aku sedang tidur-tiduran. Di telapak tanganku tersimpan gambarmu yang dulu aku buat. Kamu sedang tertawa. Sungguh sangat cantik kamu, aku mengaguminya. Lebih-lebih pada sikapmu. Aku sangat terkagum-kagum.
Veronica, benar semua kata-katamu. Nasehatmu sungguh-sungguuh sangat berguna. Kamupun harus tahu, aku kini sudah berbaikan dengan papa. Semua itu berkat kamu, Veronica. Aku ingin mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Hanya dengan tulisan ini aku dapat melakukannya.
Veronica aku kini lebih tekun belajar. Aku ingin seperti kakamu, Antonio. Dan seperti katamu, Pulitzer akan kuraih untuk kupersembahkan kepadamu. Cewek terbaik yang pernah kutemukan dalam hidupku.
Veronica, di telapak tanganku kini tersimpan gambarmu yang dulu aku buat. Kamu sedang tertawa. Dan kamupun harus tahu, gambar itu akan selalu bersamaku.***
2 Comments:
Son, cerpen-mu mellow banget sich?
Ngga nyangka deh kamu se-mellow itu, tapi salut, cerpenmu emang enak buat dibaca
Ha..ha...ha..., percayalah di dalam diri preman yang sangat preman pun pasti ada jiwa mellow-nya. Btw, saya memang lebih menyukai yang sad ending...
Post a Comment
<< Home